Ans Station – Fakta baru terungkap dalam sidang Kasus korupsi Pertamina. Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan mengaku mendapat tekanan dari dua tokoh nasional agar proyek penyewaan tangki BBM di Merak segera disetujui.
Pengakuan itu disampaikan Karen di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Senin (27/10/2025).
“Saya ditegur halus. Mereka bilang, tolong diperhatikan proyek Tangki Merak itu,” ujar Karen.
Dalam Pengakuan Eks Dirut Pertamina Karen di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/10). Menurutnya, kedua tokoh tersebut mendatanginya secara langsung di sebuah acara pernikahan pejabat tinggi negara pada awal tahun 2014 di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
Kini, Kejaksaan Agung ( Kejagung ) tengah menelusuri siapa dua tokoh nasional yang disebut dalam kesaksian tersebut.
Baca Juga Berita Terkait: Kasus Korupsi Pertamina Terbaru 2025
Latar Belakang Kasus: Skema Penyewaan Tangki BBM OTM
Kasus ini bermula dari kerja sama antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merak (OTM) — perusahaan penyedia fasilitas penyimpanan bahan bakar yang disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan pengusaha besar Riza Chalid.
Jaksa menilai proyek tersebut merugikan keuangan negara karena dilakukan tanpa kajian kelayakan yang memadai serta disetujui di bawah tekanan pihak luar.
Dalam dakwaan, disebutkan bahwa keputusan penyewaan tangki tersebut diambil menjelang berakhirnya masa jabatan Karen. Namun, mantan Dirut Pertamina itu menegaskan dirinya tidak lagi menjabat saat keputusan final diambil.
“Saya sudah mengundurkan diri pada April 2014. Keputusan sewa tangki itu baru berjalan setelah saya tidak lagi menjabat,” jelas Karen di depan hakim.
Dua Tokoh Misterius dan Tekanan Halus

Meski belum disebutkan secara eksplisit, penyebutan “dua tokoh nasional” mengundang banyak spekulasi publik. Jaksa Penuntut Umum hanya menyebut mereka sebagai “pejabat berpengaruh yang hadir di pernikahan pejabat tinggi negara”.
Karen menggambarkan pertemuan itu sebagai momen singkat namun sarat pesan.
“Mereka tak memberikan instruksi tertulis. Tapi gaya bicaranya membuat saya paham bahwa proyek itu menjadi perhatian mereka,” ungkapnya.
Sumber di internal penyidik menyebutkan bahwa Kejagung Periksa 2 Pegawai Senior tersebut dan belum ada keputusan untuk memanggil mereka sebagai saksi tambahan.
Namun, keterangan Karen membuat arah penyelidikan melebar — tidak hanya fokus pada mekanisme internal Pertamina, tapi juga kemungkinan adanya intervensi eksternal dalam kebijakan energi nasional.
Sisi Lain: Antara Tekanan Politik dan Tanggung Jawab Korporasi
Kasus Tangki Merak menggambarkan dilema besar yang dihadapi BUMN strategis. Pertamina, sebagai penyedia energi nasional, sering kali berada di persimpangan antara kepentingan bisnis dan perintah politik.
Karen menyebut, proyek OTM awalnya muncul sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan stok nasional BBM dan memperkuat ketahanan energi. Namun, eksekusinya di lapangan diduga diwarnai campur tangan pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan bisnis dari kebijakan tersebut.
“Saya menjalankan tugas sesuai arahan pemerintah. Tapi ternyata dalam praktiknya, ada pihak lain yang menunggangi kebijakan itu,” tegas Karen dalam kesaksiannya.
Reaksi Publik dan Pengamat
Pengamat energi, Faisal Andriadi, menilai pernyataan Karen sebagai alarm keras terhadap tata kelola BUMN.
“Jika benar ada tekanan dari dua tokoh nasional, ini bukan sekadar kasus individu. Ini menunjukkan rapuhnya independensi BUMN strategis dari intervensi politik dan oligarki ekonomi,” ujarnya saat diwawancarai.
Ia menambahkan, keputusan bisnis yang dipengaruhi tekanan politik rawan menyebabkan kerugian negara. “Setiap keputusan investasi di sektor energi harus berbasis kajian, bukan tekanan personal. Jika tidak, kita hanya mengulang pola korupsi berjubah kebijakan publik,” tambah Faisal.
Respons Kejaksaan dan Pertamina
Kejaksaan Agung menyatakan akan menelusuri dugaan keterlibatan dua tokoh nasional yang disebut Karen.
“Keterangan saksi ini penting. Kami akan kembangkan lebih jauh,” ujar juru bicara Kejagung, Ketut Sumedana, kepada media, Selasa (28/10).
Sementara pihak Pertamina menegaskan bahwa perusahaan saat ini telah memperkuat sistem good corporate governance untuk mencegah kasus serupa.
“Kami mendukung proses hukum dan menghormati seluruh prosedur yang berjalan,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina dalam keterangan tertulis.
Implikasi Politik dan Hukum
Pengakuan Karen memberi dimensi baru dalam kasus ini. Bukan hanya soal dugaan penyimpangan dana, tapi juga campur tangan kekuasaan dalam urusan bisnis negara.
Jika penyidik berhasil mengonfirmasi identitas dua tokoh nasional tersebut, kasus ini berpotensi membuka rantai keterlibatan elite politik dalam proyek-proyek energi strategis.
Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan langkah Kejaksaan harus tegas:
“Jika benar ada tokoh nasional yang menekan keputusan bisnis BUMN, maka itu bukan lagi urusan korporasi, tapi pelanggaran etik dan hukum yang menyentuh jantung tata kelola negara.”
Kesimpulan: Ujian Transparansi dan Keberanian Penegak Hukum
Kasus Pertamina kali ini bukan hanya ujian bagi Karen Agustiawan, tapi juga bagi sistem hukum dan pemerintahan Indonesia.
Pengakuan tentang “dua tokoh nasional” menyorot betapa pentingnya transparansi dan independensi BUMN dari tekanan eksternal, terutama di sektor energi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Seluruh mata publik kini tertuju pada langkah Kejaksaan Agung — apakah berani membuka nama besar di balik tekanan tersebut, atau berhenti pada level pengakuan semata.
“Kasus ini bukan hanya soal siapa yang bersalah, tapi seberapa berani negara menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu,” tutup Faisal Andriadi.
