Apa Tanggapan Pertamina Soal Penambahan Kilang Minyak Baru Di Indonesia

Menanggapi Isu Tentang Kilang Minyak Pertamina

Isu tentang kenapa Pertamina belum banyak membangun kilang minyak baru belakangan mencuat tajam. Kritik datang dari berbagai pihak: DPR, pengamat energi, dan masyarakat yang ingin agar Indonesia semakin mandiri dalam produksi bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi di mana impor BBM masih menjadi beban fiskal dan strategis, wajar jika publik menuntut klarifikasi dan aksi nyata.

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri argumentasi dari kedua sisi: mengapa pembangunan kilang baru begitu sulit, dan bagaimana Pertamina merespon kritik tersebut, lengkap dengan data proyek aktual dan visi masa depan mereka.[ Baca Juga: 6 Daftar Kilang Minyak Terbesar Di Indonesia ]


Kilang Minyak dan Perannya dalam Ketahanan Energi

Tanggapan Pertamina Soal isu Penambahan Kilang Minyak di Indonesia

Sebelum masuk ke kritik dan respons, penting memahami: apa itu kilang minyak, dan mengapa keberadaannya krusial:

  • Kilang minyak atau refinery adalah fasilitas yang mengolah minyak mentah menjadi produk bernilai tambah seperti bensin, diesel, avtur, LPG, dan produk petrokimia.

  • Untuk Indonesia, kilang berfungsi sebagai tulang punggung kemandirian BBM. Tanpa kapasitas kilang memadai, negara harus bergantung impor produk jadi.

  • Saat ini, proyek upgrade kilang eksisting melalui RDMP (Refinery Development Master Plan) menjadi motor utama dalam strategi pertumbuhan kapasitas di Pertamina.

Sebagai contoh, Kilang Pertamina Balikpapan (melalui RDMP & Lawe-Lawe) sedang dalam tahap pengembangan agar kapasitas naik dari ~260.000 barel per hari menjadi ~360.000 barel per hari dengan kualitas produk yang lebih ramah lingkungan.


Mengapa Indonesia Belum Menambah Banyak Kilang Minyak Baru

Berikut ini poin-poin tantangan utama:

1. Biaya Investasi & Risiko Finansial

Membangun kilang baru (greenfield) memerlukan investasi modal yang sangat besar, kadang puluhan atau ratusan miliar dolar. Risiko pengembalian modal jangka panjang — apalagi di industri yang sangat dipengaruhi fluktuasi harga minyak global — menjadikan investor berhitung berkali-kali sebelum menancapkan modal.

2. Oversupply Global & Persaingan Kilang Modern

Beberapa negara sudah membangun kilang baru yang sangat efisien, berkapasitas besar, dan menggunakan teknologi mutakhir. Kilang lama atau skala menengah harus bersaing keras dalam biaya produksi per liter. Dalam konteks oversupply global, margin atas kilang baru bisa sangat tipis.

3. Transisi Energi & Risiko Aset Terdampar

Dengan dorongan global menuju energi bersih dan dekarbonisasi, proyek-proyek industri fosil menghadapi risiko bahwa mereka menjadi “tertinggal” (stranded assets) jika permintaan BBM menurun drastis. Investor dan regulator semakin mempertimbangkan aspek keberlanjutan, emisi karbon, dan regulasi lingkungan — menjadikan kilang baru beban strategis dari sisi jangka panjang.

4. Proses Regulasi, Kemitraan & Pembebasan Lahan

Proyek baru butuh lahan, izin lingkungan, kemitraan (dengan investor lokal atau asing), dan mekanisme FID (Final Investment Decision). Semua ini bisa memakan waktu bertahun-tahun — dan jika ada ketidakpastian regulasi atau politik, proyek bisa tertunda atau batal.

5. Strategi Alternatif: Upgrade Kilang yang Ada

Daripada membangun dari nol, Pertamina memilih memperkuat kilang eksisting lewat RDMP: menambah kompleksitas (meningkatkan peralatan seperti RFCC, hydrocracker), memperbaiki efisiensi, meningkatkan kualitas produk agar sesuai standar Euro 5. Ini lebih cepat, lebih murah relatif, dan risiko lebih rendah dibanding greenfield penuh.


Tanggapan Resmi Pertamina

Bagaimana Pertamina merespons tekanan publik dan kritik bahwa mereka belum memperluas kapasitas kilang baru? Berikut poin tanggapan mereka:

Fokus Utama: RDMP & Modernisasi Kilang yang Ada

Pertamina menyatakan bahwa meskipun belum banyak membangun kilang baru, mereka terus memperluas dan memodernisasi kilang eksisting melalui RDMP. Strategi ini adalah inti dari bagaimana mereka menanggapi kritik bahwa “tidak ada pembangunan baru”.

Proyek RDMP Balikpapan | Menjadi Kilang Minyak Terbesar Di Indonesia

Proyek Nyata: RDMP Balikpapan — Menjelang Fase Akhir

  • Proyek RDMP Balikpapan dan Lawe-Lawe sudah mencapai sekitar 96,61 % progres fisik (awal Oktober 2025). Proyek RDMP Balikpapan

  • Komponen penting proyek seperti unit RFCC (Residual Fluid Catalytic Cracker) telah dibangun; unit ini penting untuk mengolah residu minyak menjadi produk bernilai tinggi (gasoline, LPG, propilena) dan membantu margin kilang. kpb.pertamina.com

  • Proyek ini juga akan meningkatkan standar produk menjadi Euro 5, mengurangi emisi sulfur, menjadikan kilang lebih ramah lingkungan.

  • Peningkatan kapasitas dari 260.000 ke 360.000 barel per hari diharapkan.

Rencana Kilang Baru: GRR Tuban

Meskipun fokus utama adalah RDMP, Pertamina tetap menyebutkan rencana proyek baru melalui Green Refinery (GRR) Tuban di Jawa Timur yang ditargetkan menambah kapasitas ~300.000 barel per hari.
Namun, proyek ini belum mencapai tahap FID penuh dan masih berada dalam tahap perencanaan/investasi yang menunggu keputusan akhir.

Komunikasi Publik & Transparansi

  • Dalam forum publik, pejabat KPI dan Pertamina sering menekankan bahwa kritik adalah masukan penting dan mereka berkomitmen mempercepat proyek kilang.

  • Pertamina juga memperkuat infrastruktur pendukung, misalnya pembangunan tangki besar di Lawe-Lawe untuk mendukung suplai minyak mentah ke Balikpapan.

  • Dalam laman resmi, KPI menyebut bahwa mereka akan terus mengolah minyak mentah domestik maupun impor untuk memenuhi kebutuhan produk kilang nasional.


Implikasi & Tantangan ke Depan

Ketahanan Energi & Penurunan Impor

Jika RDMP dan proyek baru berhasil, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada impor BBM—terutama untuk produk solar dan avtur. Proyek Balikpapan sendiri menjadi tonggak kunci dalam menciptakan kilang yang lebih besar dan produktif.

Lingkungan & Regulasi

Standar Euro 5 sebagai target produksi BBM baru menempatkan tekanan pada aspek lingkungan. Kilang baru harus memenuhi regulasi emisi dan dampak lingkungan yang makin ketat.
Apabila regulasi diperkuat, maka setiap proyek baru harus disertai studi AMDAL (analisis dampak lingkungan) yang matang dan mitigasi resiko lingkungan.

Persaingan Teknologi & Modular Refinery

Ada dorongan global untuk kilang modular (skala lebih kecil, lebih cepat dibangun) agar lebih fleksibel dan cepat beradaptasi. Namun, skalanya lebih kecil dan margin keuntungan mungkin lebih rendah.
Menariknya, menurut laporan Reuters, Indonesia bahkan sedang mempertimbangkan kilang modular untuk mendukung suplai BBM lokal dan mengurangi beban impor.

Kepercayaan Publik & Reputasi

Kasus korupsi dan kontroversi terkait impor BBM yang sudah terjadi memperbesar tekanan publik agar Pertamina tampil transparan dan akuntabel. Publik mengharapkan proyek kilang baru tidak menjadi ajang konflik kepentingan atau manipulasi politik.

[ Baca Juga: Perbedaan Terbesar antara Proyek RDMP Balikpapan dengan Kilang Minyak Cilacap? ]


Kesimpulan

“Pertamina belum banyak membangun kilang minyak baru” memang adalah kritik yang memiliki latar sejarah dan kompleksitas. Namun respons perusahaan menunjukkan bahwa langkah mereka tidak diam pasif—melainkan berpindah strategi dari “bangun banyak baru” ke “upgrade dan optimasi kilang yang ada dulu, sambil menyiapkan proyek baru”.

  • Proyek RDMP Balikpapan & Lawe-Lawe mendekati penyelesaian, dan akan menjadi bukti nyata komitmen mereka.

  • Rencana GRR Tuban tetap dibuka, meskipun masih dalam tahap perencanaan/investasi.

  • Tantangan besar tetap ada: pendanaan, regulasi, lingkungan, dan persaingan teknologi global.

Untuk pembaca: ketika kritik terhadap Pertamina datang, penting memperhatikan lapisan strategi, kendala teknis, dan realitas pasar global — bukan sekadar retorika. Semoga artikel ini membantu menjembatani pemahaman antara publik dan langkah nyata pertumbuhan kilang di Indonesia.

Content Protection by DMCA.com